Penularan dermatofitosis terjadi melalui 3 cara yaitu:
Jamur harus dapat mengatasi pertahanan tubuh spesifik dan non spesifik untuk dapat menimbulkan suatu penyakit. Beberapa kemampuan harus dimiliki jamur agar dapat berkembang biak dan menimbulkan reaksi jaringan atau radang diantaranya melekat pada kulit dan mukosa pejamu, serta kemampuan untuk menembus jaringan pejamu, dan mampu bertahan dalam lingkungan pejamu, menyesuaikan diri dengan suhu dan keadaan biokimia pejamu. Terjadinya infeksi dermatofit melalui tiga langkah utama, yaitu: perlekatan pada keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel, serta pembentukan respon pejamu.
Perlekatan Dermatofit pada Keratinosit
Perlekatan jamur (artrokonidia) pada jaringan keratin tercapai maksimal setelah 6 jam, dimediasi oleh serabut dinding terluar dermatofit yang memproduksi keratinase (keratolitik) yang dapat menghidrolisis keratin dan memfasilitasi pertumbuhan jamur ini di stratum korneum. Dermatofit juga melakukan aktivitas proteolitik dan lipolitik dengan mengeluarkan serine proteinase (urokinase dan aktivator plasminogen jaringan) yang menyebabkan katabolisme protein ekstrasel dalam menginvasi pejamu. Proses ini dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari kedua sel, dan pengaruh sebum antara artrospor dan korneosit yang dipermudah oleh adanya proses trauma atau adanya lesi pada kulit. Tidak semua dermatofit melekat pada korneosit karena tergantung pada jenis strainnya.
Penetrasi Dermatofit Melewati dan di Antara Sel
Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan kecepatan melebihi proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan sekresi proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur. Diperlukan waktu 4–6 jam untuk germinasi dan penetrasi ke stratum korneum setelah spora melekat pada keratin. Dalam upaya bertahan dalam menghadapi pertahanan imun yang terbentuk tersebut, jamur patogen menggunakan beberapa cara:
Kemampuan spesies dermatofit menginvasi stratum korneum bervariasi dan dipengaruhi oleh daya tahan pejamu yang dapat membatasi kemampuan dermatofit dalam melakukan penetrasi pada stratum korneum.
Respons Imun Pejamu
Terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami yang memberikan respons cepat dan imunitas adaptif yang memberikan respons lambat. Pada kondisi individu dengan sistem imun yang lemah (immunocompromized), cenderung mengalami dermatofitosis yang berat atau menetap. Pemakaian kemoterapi, obat-obatan transplantasi dan steroid membawa dapat meningkatkan kemungkinan terinfeksi oleh dermatofit non patogenik.
Mekanisme Pertahanan Non Spesifik
Pertahanan non spesifik atau juga dikenal sebagai pertahanan alami terdiri dari:
Mekanisme Pertahanan Spesifik
Lokasi infeksi dermatofit yang superfisial tetap dapat membangkitkan baik imunitas humoral maupun cell-mediated immunity (CMI). Pembentukan CMI yang berkorelasi dengan Delayed Type Hypersensitivity (DTH) biasanya berhubungan dengan penyembuhan klinis dan pembentukan stratum korneum pada bagian yang terinfeksi. Kekurangan CMI dapat mencegah suatu respon efektif sehingga berpeluang menjadi infeksi dermatofit kronis atau berulang. Respons imun spesifik ini melibatkan antigen dermatofit dan CMI.
Antigen Dermatofit
Dermatofit memiliki banyak antigen yang tidak spesifik menunjukkan spesies tertentu. Dua kelas utama antigen dermatofit adalah: glikopeptida dan keratinase, di mana bagian protein dari glikopeptida menstimulasi CMI, dan bagian polisakarida dari glikopeptida menstimulasi imunitas humoral. Antibodi menghambat stimulasi aktivitas proteolitik yang disebabkan oleh keratinase, yang dapat memberikan respons DTH yang kuat.
Cell-Mediated Immunity
Pertahanan utama dalam membasmi infeksi dermatofit adalah CMI, yaitu T cell-mediated DTH. Kekurangan sel T dalam sistem imun menyebabkan kegagalan dalam membasmi infeksi dermatofit. Penyembuhan suatu penyakit infeksi pada hewan dan manusia, baik secara alamiah dan eksperimental, berkorelasi dengan pembentukan respon DTH. Infeksi yang persisten seringkali terjadi karena lemahnya respon transformasi limfosit in vitro, tidak adanya respon DTH, dan peningkatan proliferasi kulit dalam respon DTH. Reaksi DTH di mediasi oleh sel Th1 dan makrofag, serta peningkatan proliferasi kulit akibat respon DTH merupakan mekanisme terakhir yang menyingkirkan dermatofit dari kulit melalui deskuamasi kulit. Respon sel Th1 yang ditampilkan dengan ciri pelepasan interferon gamma (IFN-α), ditengarai terlibat dalam pertahanan pejamu terhadap dermatofit dan penampilan manifestasi klinis dalam dermatofitosis.
Sitokin yang diproduksi oleh sel T (Sitokin Th1) terlibat dalam memunculkan respon DTH, dan IFN-α dianggap sebagai faktor utama dalam fase efektor dari reaksi DTH. Pada penderita dermatofitosis akut, sel mononuklear memproduksi sejumlah besar IFN-α untuk merespon infeksi dermatofit. Hal ini dibuktikan dengan ekspresi mRNA IFN-α pada lesi kulit dermatofitosis. Sedangkan pada penderita dermatofitosis kronis, produksi IFN-α secara nyata sangat rendah yang terjadi akibat ketidakseimbangan sistem imun karena respon Th2.
Infiltrat radang pada dermatofitosis terutama terdiri dari sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang dilengkapi oleh makrofag CD68+ dan sel Langerhans CD1a+. Sel Langerhans dapat menginduksi respon sel T terhadap trichophytin, serta bertanggung jawab dalam pengambilan dan pemrosesan antigen pada respon Th1 pada lesi infeksi dermatofit.
Pejamu dapat membentuk bermacam antibodi terhadap infeksi dermatofit yang ditunjukkan dengan teknik ELISA. Imunitas humoral tidak berperan menyingkirkan infeksi, hal ini dibuktikan dengan level antibodi tertinggi pada penderita infeksi kronis.
DAFTAR PUSTAKA
Cholis M. Imunologi Dermatomikosis Superfisialis. Dalam: Budimulya U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widati S, editor. Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004. h. 7–18.
Koga T. Immune Surveillance against Dermatophytes Infection. In: Fidel PL,Jr.,Huffnagle G.B, editors. Fungal Imunologi from Organ Perspective. Netherlands: Springer; 2005. p. 443–9.
Underhill. DM. Escape Mechanisms from the Immun Respons. In: Brown GD, Nitea MG, editors. Immunology of fungal Infection. Oxford: Springer; 2007. p. 429–42.
Verma S, Hefferman MP. Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis, Onichomycosis, Tinea Nigra, Piedra. In: Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffell O, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 1807–21.
www.Jasa Jurnal.com
Layanan pencarian jurnal dan penerjemahan jurnal kedokteran bergaransi
Kontak:
LINE ID
Pencarian Jurnal : Jasajurnal3
Terjemah: Jasajurnal4 atau JasaJurnal 5
SMS/WA : 0812 3398 8685 atau 0857 3512 4881
Email : center.jasjur@gmail.com